Saat Tersisa 10 Ribu Rupiah di Dompet

Diposting pada

Sabtu malam, nada dering di hape jadul kembali berbunyi. Melupakan sejenak pekerjaan rutin yang harus disiapkan oleh profesi bernama guru. Profesi yang cara kerjanya memang tidak mengenal tempat dan harus dirampungkan di waktu yang tepat.

Jelas terlihat di layar hape, pesan pendek kembali masuk. Maklum, tahun 2006 Masehi belum mengenal Whatsapp. Aplikasi layanan bertukar pesan dan panggilan dengan bermacam fitur yang semakin canggih.

Pesan pendek dan jelas terbaca untuk segera pulang ke Banyuwangi. Menyempatkan waktu di sela kesibukan kerja untuk menjenguk bibi (adik kandung ibu) yang sakit keras. Sudah beberapa hari kembali menjalani rawat inap di rumah sakit.

Baca juga:Minyak Goreng Curah, Akankah Tetap Ada dan Murah?

Mengingat istri masih sakit flu, hari Minggu segera menyempatkan pulang ke Banyuwangi sendirian. Berangkat jam lima pagi dengan bersepeda motor.

Sepanjang perjalanan yang ada di ingatan hanyalah sosok bibi. Sosok wanita mulia yang pernah tulus menerima setiap keluarga dan tamu saat berkunjung ke rumahnya.

Rasa ingin segera sampai di Banyuwangi tak terbendung. Rindu orang tua, rindu keluarga besar, dan ingin segera menjenguk bibi yang sakit seakan menghiasi sepanjang perjalanan.

Baca juga:Puan-Ganjar di Pilpres 2024, Koalisi Dapat Apa?
Sesampai di jalanan berkelok naik dan turun Gumitir, udara dingin semakin terasa. Maklum, rintik gerimis mulai turun saat memasuki Hutan Gumitir.

Di rest area “Watu Gudang” akhirnya menyempatkan untuk istirahat sejenak mengendorkan urat. Sembari tak lupa memesan secangkir kopi panas untuk mengurangi rasa dingin yang semakin menusuk.

Aroma nikmat secangkir kopi kuat terasa saat hadir di depanku. Melupakan sejenak penat perjalanan melewati Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Jember. Tak sabar untuk segera dituang ke tatakan agar cepat hangat.

Baca juga:Foto-foto Keren Kampung Heritage Perkebunan Belanda di Gumitir-Jawa Timur
Saat ingin meminum kopi yang mulai hangat di tatakan, kembali nada dering hape jadul berbunyi. Kali ini yang muncul bukan gambar perpesanan, tetapi simbol telepon dari kakak kandung perempuan satu-satunya.

Sabtu malam, nada dering di hape jadul kembali berbunyi. Melupakan sejenak pekerjaan rutin yang harus disiapkan oleh profesi bernama guru. Profesi yang cara kerjanya memang tidak mengenal tempat dan harus dirampungkan di waktu yang tepat.

Jelas terlihat di layar hape, pesan pendek kembali masuk. Maklum, tahun 2006 Masehi belum mengenal Whatsapp. Aplikasi layanan bertukar pesan dan panggilan dengan bermacam fitur yang semakin canggih.

Pesan pendek dan jelas terbaca untuk segera pulang ke Banyuwangi. Menyempatkan waktu di sela kesibukan kerja untuk menjenguk bibi (adik kandung ibu) yang sakit keras. Sudah beberapa hari kembali menjalani rawat inap di rumah sakit.

Baca juga:Minyak Goreng Curah, Akankah Tetap Ada dan Murah?

Mengingat istri masih sakit flu, hari Minggu segera menyempatkan pulang ke Banyuwangi sendirian. Berangkat jam lima pagi dengan bersepeda motor.

Sepanjang perjalanan yang ada di ingatan hanyalah sosok bibi. Sosok wanita mulia yang pernah tulus menerima setiap keluarga dan tamu saat berkunjung ke rumahnya.

Rasa ingin segera sampai di Banyuwangi tak terbendung. Rindu orang tua, rindu keluarga besar, dan ingin segera menjenguk bibi yang sakit seakan menghiasi sepanjang perjalanan.

Baca juga:Puan-Ganjar di Pilpres 2024, Koalisi Dapat Apa?
Sesampai di jalanan berkelok naik dan turun Gumitir, udara dingin semakin terasa. Maklum, rintik gerimis mulai turun saat memasuki Hutan Gumitir.

Di rest area “Watu Gudang” akhirnya menyempatkan untuk istirahat sejenak mengendorkan urat. Sembari tak lupa memesan secangkir kopi panas untuk mengurangi rasa dingin yang semakin menusuk.

Aroma nikmat secangkir kopi kuat terasa saat hadir di depanku. Melupakan sejenak penat perjalanan melewati Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Jember. Tak sabar untuk segera dituang ke tatakan agar cepat hangat.

Baca juga:Foto-foto Keren Kampung Heritage Perkebunan Belanda di Gumitir-Jawa Timur
Saat ingin meminum kopi yang mulai hangat di tatakan, kembali nada dering hape jadul berbunyi. Kali ini yang muncul bukan gambar perpesanan, tetapi simbol telepon dari kakak kandung perempuan satu-satunya.