Pajak UMKM: Ini Dia Aturan dan Cara Pembayaran yang Harus Dipahami

Diposting pada

Apakah kamu sudah melunasi kewajiban sebagai warga negara yang baik, yang salah satunya adalah membayar pajak? Maret memang bulannya pelaporan pajak pribadi, dan nantii di April adalah waktunya pelaporan SPT tahunan untuk badan, termasuk di dalamnya pajak UMKM selain pelaporan bulanan. Sebagai warga negara yang baik, pelaku usaha kecil juga dikenai pajak UMKM sebagai kontribusi terhadap penerimaan negara. Kepatuhan wajib pajak UMKM memang perlu banyak dukungan dan kemudahan. Pasalnya, urusan perpajakan kadang memang dianggap terlalu rumit. Pelaku UMKM merasa sudah terlalu banyak PR dengan harus terus meningkatkan omzet penjualan, alih-alih memikirkan soal pajak. Urusan administrasi dianggap hanya menambah pekerjaan saja. Belum lagi bayangan harus menyetorkan sejumlah uang, sementara usaha sedang terimbas pandemi. Kekalutan yang cukup wajar sih. Namun, bagaimanapun kewajiban harus dipenuhi. Pelaporan pajak UMKM penting agar pemerintah bisa memiliki data akurat sebagai dasar pengambilan kebijakan yang sesuai dengan kondisi riil. Table of contents Apakah UMKM itu? UMKM merupakan singkatan dari Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Seperti yang tercantum dalam UU Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, lebih jauh menjelaskan bahwa usaha mikro adalah usaha milik perorangan dan/atau badan usaha perorangan dengan omzet maksimal Rp300 juta per tahun, dan aset maksimal Rp50 juta. Aset ini tidak termasuk tanah dan bangunan. Sementara, yang disebut dengan usaha kecil adalah usaha milik perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan lain. Omzet usaha kecil ini antara Rp300 juta sampai Rp2,5 miliar per tahun, dengan aset sebesar Rp 50 juta sampai Rp 500 juta. Juga tidak termasuk tanah dan bangunan. Selanjutnya, usaha menengah adalah usaha milik perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahan atau cabang perusahaan lain, dengan omzet antara Rp2,5 miliar hingga Rp50 miliar per tahun, dengan aset di atas Rp 500 juta. Aset ini juga tidak termasuk tanah dan bangunan. Usaha menengah biasanya sudah dikelola secara profesional dan memiliki legalitas. Lalu, Mengapa UMKM Dikenai Pajak? Kamu pasti sudah tahu, bahwa 80% penerimaan negara berasal dari pajak. Pajak UMKM ini sangat potensial memberikan kontribusi yang besar pada negara lo. Dari sejarah yang pernah ada, selama beberapa kali dunia usaha mengalami resesi, UMKM selalu bisa menjadi penyelamat. Banyak korban PHK dan pemilik perusahaan yang bangkrut bisa bertahan dengan menjadi pelaku usaha mikro. Namun, tak selamanya pemerintah menggenjot penerimaan dari pajak UMKM. Kan, mesti realistis juga ya, bahwa terkadang UMKM juga terkena dampak krisis ekonomi. Seperti saat pandemi ini, dan pemerintah juga sudah berusaha membantu kebangkitan UMKM melalui berbagai insentif pajak hingga pembebasan pajak. Namun, kewajiban tetaplah kewajiban. Untuk memperlancar usaha dan pembayaran pajak UMKM, pemilik bisnis kecil ini tetap diharapkan mencatatkan diri dengan memiliki NPWP agar pemerintah memiliki gambaran yang benar tentang kondisi terkini UMKM. Dengan data yang akurat, pemerintah akan mampu membuat kebijakan yang tepat. Mencatatkan diri dengan memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) tidak otomatis harus membayar sejumlah uang kok, karena pada omzet tertentu, bisnis bisa bebas dari membayar pajak. Aturan Pajak UMKM Terbaru Lalu seperti apakah aturan pajak UMKM ini? Aturan pajak UMKM terbaru didasarkan pada PP- 23/2018 dan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu disebutkan, bahwa UMKM dikenai tarif sebesar 0,5% dari omzet per bulan. Omzet per bulan ini bisa fluktuatif, sehingga PPh final yang dilaporkan tak selalu sama. Namun, sejak tahun 2022 berlaku Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UUHPP) bagi UMKM, dengan membebaskan PPh untuk omzet hingga Rp500 juta per tahun. Jadi, jika omzet per tahun Rp400 juta, maka tak dikenakan pajak. Nah, jika omzet per tahun Rp600 juta, maka Rp500 juta pertama yang didapat tidak dikenai pajak. Ya, UUHPP ini untuk membantu kebangkitan UMKM setelah diempaskan oleh pandemi. Diharapkan dengan keringanan ini, UMKM dapat terbantu untuk bangkit dan roda ekonomi berjalan lancar kembali. Namun, meski omzet tidak menyentuh Rp500 juta per tahun, pengusaha UMKM tetap wajib melakukan pelaporan pajak rutin lo. Jadi, bisa saja dalam laporan PPh final, pajaknya 0 (nol) rupiah. Apa yang terjadi kalau tidak melakukan pelaporan? Pastinya, petugas pajak jadi nggak punya data bahwa pengusaha tersebut berhak mendapat pembebasan pajak. Nanti bisa-bisa petugas pajak tiba-tiba melayangkan surat peringatan keterlambatan pembayaran pajak. Cara Pembayaran Pajak UMKM Untuk membayar pajak UMKM, pengusaha harus memiliki NPWP (usahawan). Pendaftaran NPWP bisa dilakukan secara online melalui website Direktorat Jenderal Pajak atau mendatangi TPT (Tempat Pelayanan Terpadu). Beberapa dokumen yang diminta antara lain: fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) fotokopi Surat Keterangan Usaha (SKU) fotokopi Kartu Keluarga (KK) formulir pernyataan usaha yang sudah diisi dan ditandatangani di atas meterai formulir pendaftaran NPWP, yang bisa diunduh di pajak.go.id dan juga disediakan kantor pajak. Isilah lebih dahulu sebelum datang ke TPT agar tidak mengantre terlalu lama. Setelah mendapat NPWP, maka pengusaha UMKM tersebut wajib membuat pelaporan paling lambat tanggal 15 tiap bulan, meski termasuk yang berhak mendapat pembebasan pajak sekalipun. Pembayaran pajak bisa dilakukan melalui ATM, m-banking, teller bank, kantor pos, bahkan marketplace. Selain pelaporan tiap bulan, pengusaha UMKM juga wajib membuat pelaporan SPT tahunan. Jika bingung atau ragu-ragu dalam mengurus pajak UMKM, petugas pajak sudah bisa dijangkau secara online dengan mudah. Nah, lebih daripada itu, jagalah agar arus kas bisnis dan pribadi tetap lancar, karena pajak tetaplah menjadi salah satu pos pengeluaran yang harus diperhitungkan.