Jika Nilai Tukar Rupiah Mengalami Penurunan Lagi, Ini Dia Dampaknya

Diposting pada

Kekuatan mata uang sebuah negara ditandai dengan nilai tukar terhadap mata uang asing. Biasanya kita sering mendengar informasi tersebut dari media cetak maupun elektronik, atau pada pada papan pengumuman di money changer atau pun di bank-bank, tertera kurs IDR-USD, IDR-JPY, IDR-SGD, IDR-EURO, atau IDR-HKD, dan lainnya. Artinya, posisi nilai tukar rupiah terhadap mata uang lain.

Akhir-akhir ini kurs rupiah mengalami pelemahan cukup signifikan terhadap dolar AS. Kurs tengah Bank Indonesia (BI) hari ini saja (11/10/2017) saja US$1 setara dengan Rp13.500-an. Padahal, sebulan sebelumnya masih berada di sekitar Rp13.150-an per dolar AS.

Semakin tinggi nilai tukar mata uang suatu negara identik dengan makin kuatnya ekonomi negara tersebut, dan sebaliknya. Kenapa mengacu pada USD? Sebab perdagangan internasional banyak didominasi dengan transaksi menggunakan USD.

Lalu apa saja dampaknya apabila nilai tukar rupiah ini terus mengalami pelemahan terhadap USD?

Inflasi Bisa Melambung

Bila nilai tukar rupiah terus mengalami pelemahan, maka akan memicu inflasi. Harga-harga barang di dalam negeri akan meningkat. Terutama untuk barang atau produk yang diolahnya dari bahan baku impor. Kenapa? Karena produsen harus merogoh kocek lebih besar lagi untuk membeli bahan bakunya dari luar negeri itu alias impor.

Ilustrasi pertama:

Sebuah jeruk katakanlah harganya US$3, lalu nilai tukar Rupiah US$1 = Rp10.000. Jika rupiah melemah, misalnya US$1 = Rp15.000 maka harga jeruk tersebut menjadi Rp45.000 dari yang sebelumnya hanya Rp30.000.

Ilustrasi kedua:

Tempe. Kita tahu salah satu bahan utama adalah kedelai. Dan kedelai ini merupakan bahan baku yang diperoleh dari impor. Bila rupiah melemah, maha harga kedelai pun ikut naik.

Kalau sudah begitu, maka tidak mungkin produsen menjual barangnya sama seperti sebelumnya ketika rupiah tidak melemah. Artinya, produsen harus mejual produknya dengan harga yang mahal. Kenapa? Karena ongkos produksinya sudah meningkat. Kalau dia jual harga produknya tetap sama, maka pasti akan rugi. Dan itu tidak mungkin terjadi, bukan?

Lalu apakah tidak sebaiknya produsen menjual harga produknya tetap sama seperti sebelumnya dengan cara mengurangi komposisi dari bahan baku impornya itu? Sepertinya sulit. Kenapa? Karena akan mengurangi kualitasnya.

Maka jalan satu-satunya adalah dengan menaikkan harga jual produknya agar tetap untung dan menjaga pangsa pasarnya. Maka konsumen akan membeli produk-produk itu dengan harga yang lebih mahal dari biasanya. Dengan semakin mahalnya barang-barang tersebut terutama untuk barang konsumsi, maka akan memicu inflasi tinggi.

Order Para Eksportir Menyusut


Rupiah Indonesia

Dengan pelemahan rupiah, maka para eksportir yang sebelumnya kebanjiran order dari luar negeri, bisa-bisa menyusut. Tentu tidak semua eksportir, tapi khusus ekspotir yang produknya masih bergantung pada bahan baku impor.

Kenapa? Seperti ulasan sebelumnya, karena rupiah melemah, maka harga jual produk menjadi mahal, tidak hanya di dalam negeri, tapi juga harga jual di luar negeri tak lagi kompetif.

Jika ini terjadi maka:

  • Permintaan barang ekspor menurun sehingga penjualan makin lesu dan produsen banyak kehilangan order
  • Persaingan makin ketat karena karena bisa jadi negara lain punya produk yang lebih murah akibat nilai tukar mereka lebih kuat dibanding rupiah. Hal ini akan makin merugikan produsen kita karena produknya tidak lagi kompetitif
  • Bila konsumen luar negeri tidak mau beralih dengan produk lain alias sudah jatuh cinta dengan produk kita, biasanya mereka hanya mengurangi jumlah pesanannya karena tidak mampu dengan harga yang ditawarkan

Contoh:

Misalnya saja mereka impor salah satu produk dari Indonesia, yang biasanya harganya Rp20.000. Karena nilai tukar rupiah jatuh maka produsen menaikkan harganya menjadi Rp25.000. Karena sudah terlanjur bergantung dengan produk tersebut, maka mereka akan tetap beli namun jumlahnya tidak sebanyak sebelumnya.

Bisa Memicu Defisit Neraca Perdagangan

Bila pelamahan rupiah terus berlanjut volume ekspor memang akan meningkat. Ini khusus untuk ekspor komoditas mentah yang selama ini menjadi komoditas utama ekspor Indonesia. Sebab semakin rupiah melemah, maka harga barang-barang ekspor Indonesia dari komoditas mentah itu atau produk lainnya yang tidak bergantung impor akan lebih murah dibanding negara lain.

Contoh:

Harga minyak sawit mentah (CPO) Indonesia 1 barel misalnya US$50 atau Rp500.000 dengan kurs US$1 adalah Rp10.000. Nah, bila rupiah melemah ke Rp15.000 per USD saja, maka harga CPO Indonesia menjadi Rp750.000 per barel. Jika harga jual tersebut tetap sama –dan mestinya sama karena tak perlu bahan baku impor- maka 1 barel CPO di luar negeri sana menjadi hanya US$25 saja.

Ini akan menguntungkan importir di luar negeri sana karena mendapatkan barang yang sama dengan harga murah, sekaligus menguntungkan juga para eksportir Indonesia karena ada permintaan yang banyak atau volume ekspornya meningkat.

Namun di sisi lain, juga bisa mengancam neraca perdagangan Indonesia karena seperti uraian di atas, bahwa pelemahan rupiah tidak menguntungkan bagi eksportir atau produsen yang mengandalkan bahan baku/penolong dari impor. Karena biaya produksinya semakin tinggi dan harga jual produknya mau tidak mau semakin mahal.

Kalau sudah demikian, maka eksportir yang memproduksi barang-barang manufaktur berkebutuhan impor tinggi akan semakin tidak kompetitif. Di sisi lain, mahalnya barang impor menyebabkan industri manufaktur akan semakin sulit berkembang. Sehingga ekspor manufaktur Indonesia bisa berpotensi mengalami kontraksi.

Padahal, ekspor manufaktur ini yang mampu menjaga surplus neraca perdagangan menjadi berkualitas. Kenapa? Karena bila mengandalkan surplus dari neraca nonmigas utamanya komoditas mentah hasil perkebunan seperti batubara atau CPO tadi, maka sewaktu-waktu bisa terpengaruh oleh harga komoditas internasional yang berfluktuatif. Ketika harga komoditas global tinggi, bisa meraup untung, dan sebaliknya.

Artinya, kalaupun neraca perdagangan masih bisa mencatatkan surplus. Jika pelemahan nilai tukar rupiah juga terus berlanjut, maka berpotensi besar akan mengalami defisit.

Bingung Cari Produk KPR Terbaik? Cermati punya solusinya!

Bandingkan Produk KPR Terbaik! 

Dampak Lanjutan Pelemahan Rupiah Memicu PHK!


Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Satu hal yang merisaukan akibat turunnya nilai tukar rupiah adalah munculnya pemutusan hubungan kerja. Seperti ulasan di atas, pelemahan rupiah bisa menyebabkan produsen harus mengeluarkan biaya tinggi untuk produksinya dan berakibat pada naiknya harga jual produk, sehingga inflasi meningkat dan daya beli masyarakat tererus.

Bila daya beli masyarakat tergerus, maka mereka akan mengurangi konsumsinya, dan banyak barang yang tidak habis terjual. Jika produsen masih banyak stok, maka produksi berkurang atau bahan terhenti. Jika demikian, mau tidak mau industri akan mengurangi jumlah karyawannya.

PHK menjadi mata rantai yang makin memperberat perekonomian nasional dan bisa terjadi dengan penyebab sebagai berikut:

  • Depresiasi rupiah berdampak pada ekspor dan impor
  • Saat terjadi depresiasi harga barang-barang impor meningkat karena nilai mata uang kita dibanding Dolar AS dan berbagai mata uang asing lainnya melorot
  • Pengguna barang impor harus membayar uang lebih besar untuk barang yang dibelinya, sedangkan sebagian dari barang yang diimpor Indonesia adalah barang modal, termasuk bahan baku, mesin pertanian, dan mesin-mesin untuk produksi manufaktur.
  • Di sisi lain, perusahaan juga harus membayar biaya produksi lainnya, seperti bunga pinjaman dan upah karyawan
  • Satu-satunya yang bisa dipangkas adalah biaya tenaga kerja. Artinya, perusahaan bisa jadi akan berhenti menaikkan gaji atau mengurangi bonus, atau malah memecat karyawan jika beban biaya produksi dinilai sudah terlalu tinggi.

Peran Pemerintah dan BI dalam Menjaga Nilai Tukar Rupiah

Peran pemerintah dan Bank Indonesia sangat besar dalam menjaga nilai tukar rupiah. Pemerintah akan menjaga dari segi fisal dan BI dari sisi moneternya.

Dari sisi fiskal, pemerintah akan menjaga harga-harga barang terutama kebutuhan bahan pokok atau pangan sebagai penyebab tingginya inflasi dengan membuat kebijakan-kebijakan yang bisa membuat harga-harga tersebut stabil.

Misal, daging sapi. Ini merupakan salah satu bahan pangan yang menyumbang inflasi besar karena masuk dalam keranjang bahan makanan bergejolak (volatile food). Ketika harga daging mahal, maka pemerintah akan mengeluarkan kebijakan impor bila daging sapi di dalam negeri tidak mencukupi.

Sementara itu, peran BI. Sebagai pembuat kebijakan dari sisi moneter, biasanya akan melakukan intervensi pasar atau biasa disebut ‘berada di pasar’ dengan menggelontorkan valuta asing (USD) yang diambil dari cadangan devisa (cadev). Biasanya ini dilakukan bisa rupiah benar-benar sudah berada jauh di bawah fundamentalnya alias melemah sangat tajam terhadap dolar AS.

Dengan sinergi yang baik antara  pemerintah dan Bank Indonesia, maka nilai tukar rupiah akan tetap stabil dan mempengaruhi secara positif terhadap perekonomian nasional.